“Dia-lah yang mengutus
Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak, agar dimenangkan-Nya
terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi”. (QS. Al-Fath : 28)
DI WAJAH MEREKA ADA BEKAS-BEKAS SUJUD
“Di wajah mereka terlihat bekas-bekas sujud”
Yang dimaksud bekas-bekas sujud bukanlah kening yang
hitam, sekalipun bisa saja kening seseorang hitam karena lamanya sujud.
Berkenaan dengan ini Imam Thabari mengemukakan sebuah hadis : “Ada seorang yang
datang menemui Ibnu Umar, setelah mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya
kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.
Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya,
lalu berkata “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama
bersahabat dengan Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada
bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698).
Di lain waktu Ibnu Umar melihat seorang yang pada
dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah,
sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau
jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro nomor : 3699).
Lalu apa yang dimaksud dengan “Bekas-bekas sujud”?. Diriwayatkan
oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksudkan
dengan “Bekas-bekas sujud” adalah perilaku yang baik, begitu juga Al-Qurthubi
menafsirkannya dengan shalat yang khusyuk melahirkan sikap tawadhuk. Dengan
demikian jelaslah yang dimaksud “Bekas-bekas
sujud” adalah aplikasi nilai-nilai yang terkandung dalam shalat dalam kehidupan
sehari-hari, diantaranya :
KEPATUHAN TERHADAP PEMIMPIN
Sebagaimana digambarkan pada edisi 121 sebelumnya,
bahwa shalat berjamaah bisa meleburkan status sosial seseorang. Orang kaya dan
miskin, pejabat dan bawahan, semuanya sama dalam barisan makmum, mereka harus
taat dan patuh kepada imam tanpa terkecuali, kalau imam belum bertakbir
maka mereka tidak boleh bertakbir, kalau imam belum rukuk dan sujud, maka
mereka juga tidak boleh rukuk dan sujud, begitu seterusnya sampai salam. Namun
dibalik loyalitas itu makmum juga harus bersikap kritis pada saat imam
melakukan kesalahan, makmum tidak boleh membiarkan kesalahan seorang imam, atau
mencoba memakluminya, sebab kalau hal itu terjadi, maka shalat berjamaah akan
batal secara keseluruhan.
Oleh karena itu makmum harus segera mengucapkan
“Subhanallah”, dan sesaat makmum harus diam memberikan kesempatan kepada imam
meluruskan kesalahannya, kalimat “Subahanallah” cukup diucapkan sekali tanpa
nada emosi, jangan sampai kalimat itu diucapkan bersahut-sahutan oleh makmum,
sehingga imam kebingunan memperbaiki kesalahannya, setelah beberapa saat imam
tidak sanggup memperbaiki kesalahannya, barulah kemudian makmum membacakan
kesalahannya. Dalam hal ini seorang makmum tidak hanya berteriak “Anda salah”,
tapi dia juga harus bisa meluruskan kesalahan itu.
Alangkah indahnya kehidupan kalau prinsip-prinsip
seperti ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan
kerja, lingkungan kantor, dalam organisasi, dalam perusahaan dan dalam
keseharian kita bermasyarakat. Seorang pemimpin yang amanah seperti imam dalam
shalat, begitu juga dengan yang dipimpin setia kepada pimpinannya, namun tetap
kritis dan setiap saat siap melakukan kontrol sosial, tentunya dengan cara yang
baik, tidak hanya bisa menyalahkan seseorang, tapi ia juga bisa memberikan
solusi.
KESETARAAN DAN KEBERSAMAAN
Perhatikanlah orang yang shalat berjamaah, adakah
barisan khsusus untuk para pejabat?, tidak ada. Kalaupun ada hal itu bukan
aturan shalat berjamaah, tapi karena kebutuhan pengamanan orang tertentu. Lalu
adakah orang yang merasa harga dirinya turun karena ia rukuk dan sujud
dibelakangi orang lain?, bahkan adakah orang yang marah saat belakangnya
tersundul orang lain?. Mengapa kita rela berdekatan bahkan bersinggungan badan
dengan orang yang tidak selevel dengan kita?. Mengapa seorang perempuan yang
berpangkat tinggi, atau bergelar profesor doktor, dengan ikhlas hati berdiri di
belakang imam, padahal bisa jadi imam itu hanya orang biasa yang tidak punya
gelar keilmuan sama sekali?. Mengapa pula kepala yang sering kita hormati ini,
di saat sujud ia lebih rendah dari pantat kita?.
Hal ini hanya bisa terjadi karena di saat shalat kita
dengan ikhlas hati menanggalkan segala status sosial kita, hanya Dia Allah yang
maha besar, setiap gerakan diiringi kalimat “Allahu Akbar”, setiap ruku dan
sujud kita mengucapkan “ Subhanallah...” Hanya Dia yang pantas dipuji. Maka
shalat yang khusyuk adalah shalat yang bisa menghilangkan kesombongan dan
keakuan dirinya, dan “Di wajah mereka ada bekas-bekas sujud” maknanya, di wajah
orang yang shalat ada keramah-tamahan, ada sikap yang familiar dan seterusnya :
Sejalan dengan ini, ada hadis Qudsi yang menceritakan
bahwa Rasulullah berkata, "Aku hanyalah menerima shalat dari orang yang
tawadhu terhadap keagungan-Ku, tidak sombong terhadap makhluk-Ku, tidak
terus-menerus mendurhakai-Ku, selalu menggunakan siangnya untuk zikir
kepada-Ku, mengasihi anak yatim, janda-janda, fakir, dan menyayangi orang yang
tertimpa musibah. (HR Al-Bazzar).
“Sesungguhnya Allah
menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS.
As-Shaaf: 4)
SALING MENYAYANGI
Setelah kita memuji dan membesarkan Allah dalam setiap
gerakan shalat, maka tibalah saatnya kita menutup shalat itu dengan ucapan
“Assalamu alaikum warahmatullah (selamatlah kalian semua dan semoga mendapat
rahmat Allah)”, sekali ke kanan dan sekali ke kiri, artinya disaat shalat
dimulai dengan membesarkan Allah, maka kemudian shalat diakhiri dengan
menebarkan keselamatan bagi sesama dan sehabis berdoa kita kemudian
bersalam-salaman.
Namun sungguh disayangkan hari ini banyak ummat Islam
yang hanya sekedar mengerjakan shalat, bukan menegakkan shalat, apa bedanya?.
Kalau mengerjakan shalat maka yang dimaksud adalah memulai shalat dengan
bertakbir dan mengakhirinya dengan mengucapkan salam, sedangkan yang dimaksud
dengan menegakkan shalat adalah melaksanakan shalat dengan benar, lalu
mengaplikasikan nilai-nilai shalat itu dalam kehidupannya. Sehingga jadilah
shalatnya itu sebagai pencegah kejahatan dan kemungkaran, sebagaimana Allah
berfirman : “ Sesungguhnya shalat itu mencegah kemaksiatan dan kemungkaran”.
Tapi karena hari ini kebanyakan ummat Islam baru melaksanakan shalat, jangankan
kebersamaan dan kasih sayang yang terpancar di wajah mereka sesudah shalat,
bahkan baru saja keluar dari mesjid sandal sudah pada hilang.
MEREKA SEPERTI TUNAS YANG TUMBUH PERLAHAN, LALU
MENJADI KUAT DAN MENDOMINASI
“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia
dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan
kekuatan orang-orang mukmin)”.
Pada mulanya ummat Islam hanya minoritas di Makkah dan
Madinah, namun karena mereka Kaffah dalam agama Islam, mereka kemudian menjelma
menjadi ummat yang mendominasi baik dari segi politik, ekonomi dan sosial
budaya, sehingga jadilah madinah “Baldatun Thayyibah wa rabbun ghafur”. Hal ini
tidak lain, karena di wajah mereka ada bekas-bekas sujud.
0 Response to "KEMENANGAN MILIK UMMAT YANG BERKARAKTER "
Post a Comment